TPA SEMARANG;
Barter antara Limbah dan Nasi Rames
Tempat
Pembuangan Akhir (TPA) Semarang yang berlokasi di
jatibarang kecamatan Gunungpati layak disimak kemajuaan dan kreatifitas
warganya. Sejak dibangun pada tahun 1996 lahan tidak produktif dijadikan
timbunan sampah buangan tak
bernilai serta tempat
penggembalaan hewan penduduk sekitarnya. Pada awal
januari 2016 ini di TPA Jatibarang, Kota Semarang sepasang suami istri Sarimin (54) dan Suratmi (52) mendirikan
warung makan dengan nama KANTIN GAS METHAN.
Pasangan suami-istri ini terlihat
bahagia lantaran bisa kembali berusaha setelah gagal panen dan sempat bangkrut akibat bisnis
rongsokan sampah di Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang. Kreatifitas pasangan
suami istri ini berupa makanan yang dibeli cukup dibayarkan dengan plastik limbah. Oleh karena itu, target pembelinya
adalah para pemulung yang mengais nafkah di tempat sampah terbesar di Gunungpati, Semarang. Pak Surimin
optimis warung makan kreatif ini akan lestari karena pernah menekuni bisnis
rongsokan selama 8 tahun serta saat ini berpengalaman menangani 33 orang pemulung di lahan tersebut.
Mereka terus berupaya demi menafkahi
anak-anak yang tengah mengenyam pendidikan tinggi. Hal
inilah yang membuat pasangan suami istri ini semangat kreatif. Dari empat warung makan yang ada di
TPA Jatibarang, hanya warungnya yang menggunakan alat transaksi plastik. Limbah plastik
dihargai Rp 400,- per kilo dan rata – rata pemulung membawa 20 kg plastik
limbah pada saat makan siang..
Transaksi yang diperoleh 20 kg sampah sebenarnya ada 2 yakni Suratmi menerima Rp 8000,- serta suaminya menerima Rp 2000,- dari keuntungan menjualnya sebesar Rp 100,- per kilo. Plastik yang mereka kumpulkan kemudian dijual lagi ke pengepul dengan harga Rp 500. Keuntungan keluarga ini sekitar Rp 1.500.000,- per bulan serta sudah menikmati makan di warung.
Transaksi yang diperoleh 20 kg sampah sebenarnya ada 2 yakni Suratmi menerima Rp 8000,- serta suaminya menerima Rp 2000,- dari keuntungan menjualnya sebesar Rp 100,- per kilo. Plastik yang mereka kumpulkan kemudian dijual lagi ke pengepul dengan harga Rp 500. Keuntungan keluarga ini sekitar Rp 1.500.000,- per bulan serta sudah menikmati makan di warung.
Pada awalnya
keluarga ini pun juga ikut
memulung di TPA selama 1,5 tahun lantas muncul ide berjualan makanan di tempat sampah. Mereka pun bersyukur karena Pengelola TPA Jatibarang memberikan fasilitas dan izin untuk
berjualan. Biaya air, listrik, gas dan sewa tempat tidak dipungut biaya
sehingga terasa sangat membantu bagi pasangan asal Rembang ini.
Warung berbayar limbah plastik ini juga menggunakan gas metana hasil dari endapan sampah yang telah diolah. Setidaknya, saat ini telah ada 101 keluarga di sekitar TPA yang menikmati fasilitas gratis tersebut.
Warung berbayar limbah plastik ini juga menggunakan gas metana hasil dari endapan sampah yang telah diolah. Setidaknya, saat ini telah ada 101 keluarga di sekitar TPA yang menikmati fasilitas gratis tersebut.
Koordinator Pemulung TPA Jatibarang,
Sutarno (69) mengatakan, ide untuk membuat kantin berbayar plastik
dilatarbelakangi banyaknya pemulung yang tidak mempunyai uang. Mereka hanya
punya barang-barang yang dipulung.
“Pemulung menawarkan barang pulungannya. Warung-warung pada gak mau, akhirnya pak Sarimin bersedia dan direalisasi” ujar Tarno. Nazar Nurdin, para pemerhati sampah bahkan Bapak Walikota Semarang tampak memberi apresiasi atas aktifitas di TPA Jatibarang.
“Pemulung menawarkan barang pulungannya. Warung-warung pada gak mau, akhirnya pak Sarimin bersedia dan direalisasi” ujar Tarno. Nazar Nurdin, para pemerhati sampah bahkan Bapak Walikota Semarang tampak memberi apresiasi atas aktifitas di TPA Jatibarang.
Semangat Makoto, makooto TKTGD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar