Selasa, 17 Mei 2016

MASJID MENARA, DI KAMPUNG MELAYU - JALAN LAYUR SEMARANG


MASJID MENARA, DI KAMPUNG MELAYU - JALAN LAYUR SEMARANG

Masjid Menara Kampung Melayu disebut pula Masjid Layur merupakan salah satu bangunan kuno berupa masjid tua di kota Semara. Lokasi Masjid Layur  ini mudah dijangkau, dari Pasar Johar  ke arah Kota Lama melalui Kantor Pos Besar jalan Pemuda  , sebelum Jembatan Berok ke arah utara ( belok kiri ). Dinamakan Kampung Melayu karena sudah merupakan tempat hunian pada tahun 1743 yang sebagian besar orang yang mendiami kawasan tersebut adalah orang melayu. Pada masa tersebut di kampung ini terdapat tempat untuk mendarat kapal dan perahu yang membawa barang dagangan. Lokasinya yang sangat strategis mengundang orang untuk berdiam disitu pula. Dicatat bahwa orang-orang dari Arab kemudian menempati kampung tersebut. Pada masa itulah kiranya masjid yang telah ada dikembangkan lagi dan memperoleh pengaruh yang dapat dilihat sekarang.
Bangunan masjid  sendiri tidak bergaya Arab, tetapi memiliki lebih banyak unsur lokal. Lantai bangunan tersebut dinaikkan dan hanya dapat dicapai dengan tangga yang terdapat pada sisi muka. Dinding masjid tersebut sangat unik. Berbagai sudutnya dihiasi ornamen bermotif geometrik, berwarna-warni. Walaupun sudah dimakan usia namun masjid ini masih kokoh dan masih digunakan oleh masyarakat sekitar untuk beribadah. Sampai sekarang masjid ini masih terus dirawat oleh yayasan masjid setempat sebagai upaya pelestarian sejarah dan sebagai masjid tua kebanggaan Kota Semarang  . Secara menyeluruh Masjid Layur masih asli seperti pertama kali dibuat, hanya ada sedikit perbaikan seperti penggantian genteng dan penambahan ruang untuk pengelola pada sisi kanan kompleks masjid.
GPS Waypoint: 6°57’57.53″S (Latitude) 110°25’19.78”E (Longitude) google map refference (-6.96598,110.422162)

Di kawasan yang menjadi jejak perdagangan Semarang masa kolonial itu berdiri megah sebuah masjid berarsitektur unik.  Bagian kanan dan kiri masjid terdapat bangunan-bangunan tua dengan ukuran besar dan memiliki tembok tinggi. 100 meter sebelumnya, di sebelah Selatan lokasi yang sama, berdiri Klenteng Kampung Melayu
D
i Jalan Layur, Dadapsari, Semarang Utara, sama seperti permukiman pesisir pantai lainnya berhawa panas dan sesekali rob menjadi semacam 'tamu rutin' di kawasan Jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, Semarang, Jawa Tengah. Tak hanya itu, kondisi tanah yang labil menambah dinamika permukiman menjadi semakin unik. Maka, tak heran jika hampir sebagian besar bangunan di sana tampak seperti 'termakan tanah', ambles sedikit demi sedikit hampir tiap tahunnya.
Masjid Menara terlihat lebih tinggi dari bangunan sekitarnya. Sebelah timur masjid mengalir air Kali Semarang. Aliran sungai yang pada masanya sempat menjadi jalur transportasi perdagangan penting di Semarang. Tak salah jika masjid itu disebut Masjid Menara. Sebab, masjid itu memang memiliki sebuah menara yang tinggi menjulang berwarna putih. Di atasnya terpasang corong pengeras suara, penyeru saat azan dikumandangkan.
Ali Mahsun, muazin setempat, dan warga Dadapsari berharap Pemkot Semarang memberi perhatian terhadap perawatan bangunan tua termasuk Masjid Menara.
Masjid sekarang sudah berubah bentuk dari aslinya. Pada awalnya, masjid ini mempunyai dua lantai. Lantai pertama difungsikan sebagai gudang dan lantai berikutnya untuk tempat menjalankan ibadah salat jamaah laki-laki. Sedangkan untuk jamaah perempuan, mempunyai tempat tersendiri yang masih satu kompleks dengan bangunan masjid.
Penulis buku Kota Semarang Selintas Pandang: 100 Foto Kota Semarang Lama dan Baru (1993), Kota Semarang Dalam Kenangan (2002), Semarang City: A Glance In To The Past (2007), Jongkie Tio, berujar bahwa sekitar abad 18, kawasan tersebut adalah wilayah pelabuhan
dan Kali Semarang saat itu digunakan sebagai jalur transportasi penting komoditas dagang.

Kawasan itu juga familiar disebut Kampung Ndarat. Sebab, pelabuhan tersebut sering digunakan untuk mendaratkan kapal - kapal orang Melayu. Tak heran jika kawasan ini pun akhirnya dikenal dengan sebutan Kampung Melayu. Sejarawan Universitas Diponegoro Titiek Suliyati mengatakan, hingga abad ke-18, Kampung Melayu merupakan Kampung Multietnis. Walaupun demikian, masing-masing warganya dapat menjalankan kepentingan sosial, keagamaan, dan budayanya secara harmonis, masing-masing etnis bisa hidup berdampingan saling menghormati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar