MASJID
MENARA, DI KAMPUNG MELAYU - JALAN LAYUR SEMARANG
Masjid Menara Kampung Melayu disebut pula
Masjid Layur merupakan salah satu bangunan kuno berupa
masjid tua di kota Semara. Lokasi Masjid Layur ini mudah dijangkau, dari Pasar Johar ke arah
Kota Lama melalui Kantor Pos Besar jalan
Pemuda , sebelum Jembatan Berok ke arah utara ( belok
kiri ). Dinamakan Kampung Melayu
karena sudah merupakan tempat hunian pada tahun 1743 yang sebagian besar orang
yang mendiami kawasan tersebut adalah orang melayu. Pada masa tersebut di
kampung ini terdapat tempat untuk mendarat kapal dan perahu yang membawa barang
dagangan. Lokasinya yang sangat strategis mengundang orang untuk berdiam disitu
pula. Dicatat bahwa orang-orang dari Arab kemudian menempati kampung tersebut.
Pada masa itulah kiranya masjid yang telah ada dikembangkan lagi dan memperoleh
pengaruh yang dapat dilihat sekarang.
Bangunan masjid sendiri
tidak bergaya Arab, tetapi memiliki lebih banyak unsur lokal. Lantai bangunan tersebut
dinaikkan dan hanya dapat dicapai dengan tangga yang terdapat pada sisi muka. Dinding masjid tersebut sangat unik. Berbagai
sudutnya dihiasi ornamen bermotif geometrik, berwarna-warni. Walaupun
sudah dimakan usia namun masjid ini masih kokoh dan masih digunakan oleh
masyarakat sekitar untuk beribadah. Sampai sekarang masjid ini masih terus
dirawat oleh yayasan masjid setempat sebagai upaya pelestarian sejarah dan
sebagai masjid tua kebanggaan Kota
Semarang . Secara menyeluruh
Masjid Layur masih asli seperti pertama kali dibuat, hanya ada sedikit
perbaikan seperti penggantian genteng dan penambahan ruang untuk pengelola pada
sisi kanan kompleks masjid.
GPS Waypoint: 6°57’57.53″S (Latitude) 110°25’19.78”E (Longitude) google map refference
(-6.96598,110.422162)
Di kawasan yang menjadi jejak perdagangan Semarang
masa kolonial itu berdiri megah sebuah masjid berarsitektur unik. Bagian kanan dan kiri masjid terdapat
bangunan-bangunan tua dengan ukuran besar dan memiliki tembok tinggi. 100 meter sebelumnya, di sebelah Selatan lokasi yang sama, berdiri Klenteng
Kampung Melayu
Di Jalan Layur, Dadapsari, Semarang Utara, sama seperti permukiman pesisir pantai lainnya berhawa panas dan sesekali rob menjadi semacam 'tamu rutin' di kawasan Jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, Semarang, Jawa Tengah. Tak hanya itu, kondisi tanah yang labil menambah dinamika permukiman menjadi semakin unik. Maka, tak heran jika hampir sebagian besar bangunan di sana tampak seperti 'termakan tanah', ambles sedikit demi sedikit hampir tiap tahunnya.
Di Jalan Layur, Dadapsari, Semarang Utara, sama seperti permukiman pesisir pantai lainnya berhawa panas dan sesekali rob menjadi semacam 'tamu rutin' di kawasan Jalan Layur, Kelurahan Dadapsari, Semarang Utara, Semarang, Jawa Tengah. Tak hanya itu, kondisi tanah yang labil menambah dinamika permukiman menjadi semakin unik. Maka, tak heran jika hampir sebagian besar bangunan di sana tampak seperti 'termakan tanah', ambles sedikit demi sedikit hampir tiap tahunnya.
Masjid Menara terlihat lebih tinggi
dari bangunan sekitarnya. Sebelah timur masjid mengalir air Kali Semarang. Aliran sungai yang pada masanya sempat menjadi
jalur transportasi perdagangan penting di Semarang. Tak salah jika masjid itu disebut
Masjid Menara. Sebab, masjid itu memang memiliki sebuah menara yang tinggi
menjulang berwarna putih. Di atasnya terpasang corong pengeras suara, penyeru
saat azan dikumandangkan.
Ali Mahsun, muazin setempat, dan warga Dadapsari berharap Pemkot Semarang memberi perhatian terhadap perawatan bangunan tua termasuk Masjid Menara.
Ali Mahsun, muazin setempat, dan warga Dadapsari berharap Pemkot Semarang memberi perhatian terhadap perawatan bangunan tua termasuk Masjid Menara.
Masjid sekarang sudah berubah bentuk
dari aslinya. Pada awalnya, masjid ini mempunyai dua lantai. Lantai pertama
difungsikan sebagai gudang dan lantai berikutnya untuk tempat menjalankan ibadah
salat jamaah laki-laki. Sedangkan untuk jamaah perempuan, mempunyai tempat
tersendiri yang masih satu kompleks dengan bangunan masjid.
Penulis buku Kota Semarang Selintas Pandang: 100 Foto Kota Semarang Lama dan Baru (1993), Kota Semarang Dalam Kenangan (2002), Semarang City: A Glance In To The Past (2007), Jongkie Tio, berujar bahwa sekitar abad 18, kawasan tersebut adalah wilayah pelabuhan dan Kali Semarang saat itu digunakan sebagai jalur transportasi penting komoditas dagang.
Penulis buku Kota Semarang Selintas Pandang: 100 Foto Kota Semarang Lama dan Baru (1993), Kota Semarang Dalam Kenangan (2002), Semarang City: A Glance In To The Past (2007), Jongkie Tio, berujar bahwa sekitar abad 18, kawasan tersebut adalah wilayah pelabuhan dan Kali Semarang saat itu digunakan sebagai jalur transportasi penting komoditas dagang.
Kawasan itu juga familiar disebut Kampung Ndarat.
Sebab, pelabuhan tersebut sering digunakan untuk mendaratkan kapal - kapal orang Melayu. Tak heran jika kawasan ini pun
akhirnya dikenal dengan sebutan Kampung Melayu. Sejarawan Universitas Diponegoro
Titiek Suliyati mengatakan, hingga abad ke-18, Kampung Melayu merupakan Kampung Multietnis. Walaupun demikian,
masing-masing warganya dapat menjalankan kepentingan sosial, keagamaan, dan
budayanya secara harmonis, masing-masing etnis bisa hidup berdampingan saling menghormati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar